Kamis, 14 April 2011

WAWANCARA KHUSUS

Posted by blueQuw On 18.23 No comments

Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sulawesi Selatan, Sultan Sulaiman
‘Lunturnya’ Budaya Menulis Di Kalangan Mahasiswa

Budaya membaca dan menulis semakin tergeser di kalangan Mahasiswa dengan perkembangan teknologi yang ada. Mahasiswa cenderung lebih tertarik untuk berada di depan laptop ataupun computer untuk dapat mengakses internet ketimbang untuk membaca buku ataupun menghasilkan karya lewat tulisan. Apakah fenomena ini biasa saja ? ataukah ada dampak negative yang dapat merusak ? berikut wawancara khusus bersama ketua Forum Lingkar Pena Sulawesi selatan, Sultan Sulaiman.


Apa yang memotivasi Anda untuk menjadi seorang penulis ?
Menulis itu adalah pilihan diantara banyak pilihan lain, tidak semua orang merasa terpanggil untuk menulis. Sebahagian orang memiliki kecenderungan mengejar aktualitas sehingga menulis dianggap prestisius. Ada juga Seorang introver yang menganggap menulis sebagai wadah pelarian dan bentuk aktualisasi diri karena ia takut mengungkapkannya didepan banyak orang.
Keinginan menulis telah ada semenjak dibangku SMA, awalnya karena adanya target pribadi untuk membawa hasil tulisan ke media.
Sulitkah menjadi seorang penulis ?
Aktivitas menulis sinkron dengan membaca. Jadi membaca, mendengar, melihat adalah proses yang melatarbelakangi sehingga kita dapat menulis.ketika kita ingin mudah untuk menulis terlebih dahulu kita harus membaca.
Beberapa orang ada yang susah untuk berbicara dan juga sebaliknya ada yang susah untuk menulis. Kemampuan untuk berbicara dan juga menulis adalah dua hal yang sangat sulit untuk dilakukan sekaligus.
Modal apa yang harus dimiliki untuk menjadi seorang penulis ?
Rajin membaca! Membaca merupakan modal penulis. Kemudian jalan-jalan, melihat, dan mendengar segala hal yang terjadi disekitar kita, ketika kita telah jenuh membaca.
Pelatihan-pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh lembaga-lembaga belum dapat menjamin untuk menghasilkan seorang penulis. Menulis bukanlah kecerdasan teoritis tapi praktis. Ada beberapa motif tersendiri ketika ingin menulis, misalnya saja Soh Hok Gie yang menulis karena ia marah dan ada juga orang-orang menulis karena mereka kelaparan ingin makan.
Bagaimana tanggapan Anda terhadap fenomena ‘lunturnya’ budaya menulis dikalangan mahasiswa ?
Semuanya dikondisikan dengan lingkungan dimana kita berada. Mahasiswa akan menulis ketika ia melihat dosennya memiliki tulisan yang diterbitkan oleh media internasional misalnya. Bagaimana mahasiswa mau menulis ketika para dosen belum memiliki karya tulisan yang mampu diperlihatkan kepada mereka ? Selain itu yang menjadi penyebab adalah efek kultur dimana budaya instan dan prakmatis mampu menguasai mahasiswa. Wilayah kritis kemahasiswaan telah digeser dengan aktivitas yang menarik perhatian. Selanjutnya ialah efek sistemik, andaikan lembaga penerbitan dikampus mampu mewadahi mahasiswa dan memberikan reward, namun hal tersebut tidak dapat terjamin, kita menulis namun tidak diakpresiasikan dan tidak ada yang ‘wah’ jika kita menulis.
Manfaat apa yang ada dalam dunia penulisan ?
Banyak manfaat. Proses pengikatan ilmu, misalnya banyak hal yang diajarkan namun jika tidak ditulis, maka ia akan hilang karena digantikan oleh hal-hal yang baru.
Tulisan adalah proses mengabadikan sejarah, misalnya saja Chairil Anwar yang tetap ada karena puisi dan karya-karya tulisnya yang tetap ada. Kita lebih mengenal Aristoteles,Karl Marx, dan lain-lain ketimbang kakek dan nenek buyut kita, karena mereka menulis namun kakek buyut kita tidak dan celakanya kakek dan nenek buyut kita tidak menceritakan sejarahnya kepada orang tua kita.
Lebih efektif mana, ketika kita menuangkan aspirasi lewat tulisan atau kata-kata ?
Efektif kedua-duanya, kultur demokrasi yang ada telah membebaskan apa saja. Kemudian tergantung isu yang ada, ada beberapa isu yang membutuhkan kita untuk berorasi dijalan dan ada pula yang efektif ketika kita menyampaikannya di dalam forum transformal yakni forum untuk membagi kegelisahan lewat tulisan. Serta forum interaktif dengan mengandalkan media audio visual untuk berinteraksi dengan kalangan menengah kebawah.
Semuanya bertujuan dalam gerakan sosial. Bagus ketika ada keseimbangan antara aksi dan juga menulis, hal tersebut lebih memiliki legitimasi.
Bagaimana dengan fenomena mahasiswa yang gemar beraksi namun tak mampu menulis ?
Perlu adanya redoktrinasasi atau mendoktrin kembali para mahasiswa untuk sadar akan dinamika sosial seperti agen of change, social of control yang disematkan pada mahasiswa. Hal tersebut harus dibuktikan dalam ranah intelektual dengan riil yakni dengan catatan, buku, menulis dan membaca.
Melegitimasi kita sebagai kalangan intelektual yang tidak sporadic yakni kegiatan-kegiatan yang tidak kreatif dan dekat dengan kekerasan dan tawuran. Tawuran adalah aktualisasi yang instan, karena konflik yang ada tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Budaya menulis dan membaca sudah hampir hilang, maka lembaga-lembaga penulisan harus kembali me-refresh agar budaya tersebut tetap ada. Di sisi lain lembaga-lembaga juga harus sadar ketika ingin mengajak orang lain untuk menulis, harus ada bukti otentik yakni karya tulisan dari lembaga yang mampu diperlihatkan kepada orang-orang.
Bagaimana potensi mahasiswa dalam dunia penulisan ?
Dalam dunia penulisan terdapat karya fiksi dan non-fiksi, dimana fiksi cenderung lebih menarik dan lebih diminati. Terdapat karya ilmiah dan karya ilmiah populer yang tergolong karya non fiksi.
Wajah mahasiswa dimedia yang cenderung rusak harus ada perimbangan, dengan mahasiswa yang mampu menulis tentunya dapat mengharumkan nama kampus beserta hal-hal positif lainnya.
Terdapat pula segmentasi media pada nilai berita dimana kerusuhan walaupun kecil selalu diberitakan dan dibesar-besarkan, ini sangat merugikan dan mahasiswa harus sadar akan itu.
Langkah apa yang ditempuh untuk mengembangkan potensi tersebut ?
Ada dua cara akomodasi, yang pertama adalah lembaga dimana terdapat potensi untuk saling berbagi dengan teman yang mungkin lebih pandai dalam menulis. Ketika kita melemah dalam menghasilkan karya maka akan ada pressure lembaga yang memaksa. Misalnya Forum Lingkar Pena (FLP) yang di dalamnya terdapat stratifikasi senior, junior dan pemula yang semuanya bergantung pada karya yang mereka hasilkan. Adapula penggolongan keaktifan yakni aktif secara organisasi seperti melakukan segala bentuk kegiatan organisasi, aktif dalam kepenulisanyang orientasinya pada profesionalisme dan skillnya, kemudian kritikus yang berperan sebagai bumper apabila ada serangan yang mendeskriditkan organisasi.
Selain lembaga ada juga yang Person yakni tataran wilayah yang lebih bebas berekspresi, tidak dikekang oleh doktrin lembaga. Orang-orang yang personal cenderung organic dan menjadikan tulisan sebagai ajang pembuktian. Kelemahan pada tataran personal adalah penemuan titik jenuh yang pastinya akan ada.

0 komentar:

Posting Komentar