Kamis, 14 April 2011

Posted by blueQuw On 18.11 No comments

Mahasiswa Sebagai Kalangan Intelektual Yang Tidak Sporadic
Makassar-Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sulawesi Selatan, Sultan Sulaiman memandang mahasiswa sebagai figure intelektual yang harus memiliki perimbangan antara aksi dan juga keterampilan menulis, hal tersebut akan memiliki legitimasi yang lebih dalam pandangan masyarakat umum.
Bentuk aktualisasi mahasiswa saat ini terlihat instan ketika mereka dihadapakan dengan suatu permasalahan. Konflik yang ada diselesaikan dengan cara-cara yang sporadic seperti tawuran, demonstrasi yang anarkis, dan kekerasan. Hal ini semakin memperkuat kedudukan mahasiswa yang cenderung melakukan gerakan sosial yang berdampak negative ketimbang yang berdampak positif. Sisi negative tersebut semakin nampak dikarenakan pemberitaan yang dilakukan oleh media. Media mampu mendramatisir kerusuhan kecil menjadi besar untuk menarik perhatian khalayak.
“ Perlu adanya redoktrinisasi atau mendoktrin kembali mahasiswa untuk sadar akan dinamika sosial seperti agen of change, social of control yang disematkan pada mahasiswa. Hal tersebut harus dibuktikan dalam ranah intelektual yang riil yakni dengan berdiskusi, menulis dan membaca.” ungkap Sultan dalam melihat fenomena yang terjadi saat ini.
Kegiatan menulis dipandang oleh Sultan sebagai salah satu ajang pembuktian diri bagi mahasiswa sebagai kalangan intelektual yang tidak sporadic. Banyak manfaat yang didapatkan dalam dunia penulisan, “ proses pengikatan ilmu, misalnya banyak hal yang diajarkan namun jika tidak ditulis, maka ia akan hilang karena digantikan oleh hal-hal yang baru. Tulisan berfungsi dalam mengabadikan sejarah.” ungkap Sultan yang saat ini juga menjabat sebagai Pimred Majalah KAMMI.
Menulis merupakan sebuah proses, dimana membaca , melihat dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar adalah hal-hal yang melatarbelakangi proses menulis tersebut. Menurut Sultan, Pelatihan-pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh lembaga-lembaga belum dapat menjamin untuk menghasilkan seorang penulis, menulis bukanlah kecerdasan teoritis tapi praktis. Ada beberapa motif tersendiri ketika ingin menulis, misalnya saja Soh Hok Gie yang menulis karena ia marah dan ada juga orang-orang menulis karena mereka kelaparan ingin makan.
Dunia penulisan dan mahasiswa menjadi hal tak dapat dipisahkan, namun tidak semua mahasiswa sadar akan manfaat ketika terampil dalam menulis. “Budaya menulis dan membaca sudah hampir hilang, maka lembaga-lembaga penulisan harus kembali me-refresh agar budaya tersebut tetap ada. Di sisi lain lembaga-lembaga juga harus sadar ketika ingin mengajak orang lain untuk menulis, harus ada bukti otentik yakni karya tulisan dari lembaga tersebut, yang mampu diperlihatkan kepada orang-orang.” Jelas Sultan yang telah banyak menghasilkan karya tulisan dalam bentuk cerpen, essai dan opini.
Pengembangan potensi mahasiswa dalam menghasilkan tulisan harus terus diupayakan. Sultan mengemukakan “Ada dua cara akomodasi, yang pertama adalah lembaga dimana terdapat potensi untuk saling berbagi dengan teman yang mungkin lebih pandai dalam menulis. Ketika kita melemah dalam menghasilkan karya maka akan ada pressure lembaga yang memaksa. Selain lembaga ada juga yang person yakni tataran wilayah yang lebih bebas berekspresi, tidak dikekang oleh doktrin lembaga.” Upaya tersebut merupakan langkah yang ditempuh agar budaya menulis tidak ‘luntur’ di kalangan mahasiswa.

0 komentar:

Posting Komentar